Pelayanan paliatif didefinisikan oleh WHO adalah ‘Seluruh kegiatan aktif yang dilakukan pada penyakit dimana pengobatan sudah tidak lagi berguna. Tindakan aktif yang dimaksud antara lain mengontrol rasa sakit serta keluhan lainnya, serta perbaikan penatalaksanaan pada aspek psikologis, sosial dan spiritual. Tujuan dari perawatan paliatif menurut WHO adalah pencapaian kualitas hidup yang maksimal pada pasien dan keluarganya.
Perawatan PaliatifMenurut
Potter & Perry
(2009), perawatan paliatif merupakan intervensi untuk orang-orang yang
menghadapi penyakit kronis yang
mengancam jiwa atau
yang berada di
akhir kehidupan. Fokus
perawatan paliatif meliputi Kontrol gejala, Perawatan holistik, Perawatan keluarga,
dan Komunikasi (Hospice
America, 2009) Tujuan utama
dari perawatan paliatif
adalah untuk membantu
klien dan keluarga
mencapai kualitas hidup
terbaik (Potter &
Perry, 2009). Perawatan
paliatif tidak menekankan
pada pembuhan melainkan memberikan bantuan terhadap
penderitaan yang dialami
dengan mengelola gejala
yang muncul dan
memaksimalkan kualitas hidup (Black & Hawks, 2005).
Prevalensi penyakit kanker Indonesia cenderung terus
meningkat dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Diperkirakan di tahun 2025
jumlah pasien kanker lebih banyak 50% daripada tahun sebelumnya. Tapi tidak
sedikit hingga saat ini masyarakat yang baru terdeteksi kanker saat sudah
memasuki stadium 4 atau masa terminal yang mana tinggal menghitung mundur waktu
kematian. Meski demikian, upaya pengobatan harus dilakukan agar pasian dapat
mencapai kesembuhan.
Pada jurnal yang saya baca berjudul HUBUNGAN TINGKAT
PENGETAHUAN PERAWAT TENTANG PERAWATAN PALIATIF DENGAN SIKAP TERHADAP PENATALAKSANAAN
PASIEN DALAM PERAWATAN PALIATIF DI RS
DR. MOEWARDI SURAKARTA menuliskan bahwa jumlah
penderita kanker di
Rumah Sakit Dr.
Moewardi Surakarta mengalami
peningkatan setiap tahunnya
namun belum tersedia
instalansi khusus untuk
perawatan paliatif. Keperawatan paliatif tentunya tidak hanya berfokus
pada kondisi fisik saja tapi juga psikologis, social dan spiritual. Dalam hal
ini perawat harus bekerja ekstra, lebih memahami keadaan pasien dan keluarga
dengan resiko kehilangan. Dari hasil penelitian tersebut dari 93 perawat yang
menjadi responden 469.5% responden memiliki pengetahuan yang cukup, 29.0%
responden berpengetahuan baik, dan 21.5 % responden memiliki pengetahuan yang
kurang baik. Dan hasilnya masih ada 34.4% responden yang memiliki sikap buruk
terhadap perawatan paliatif karena kurangnya pengetahuan.
Hasil
penelitian menunjukkan responden
yang memiliki tingkat
pengetahuan baik tentang
perawatan paliatif sebanyak
27 responden atau
29.0 % dan
masih banyak ditemukan
responden yang memiliki tingkat
pengetahuan kurang yaitu
sebanyak 20 responden. Innocent (2011) menyatakan
bahwa sehubungan dengan
pemberian perawatan pasien,
pengetahuan perawat dapat memberikan kekuatan
yang lebih besar
untuk mengambil tindakan dan kurangnya pengetahuan perawat menyebabkan perawat tidak
bisa memberikan perawatan yang
aman atau efektif. Adanya variasi tingkat pengetahuan disebabkan
karena adanya faktor-faktor yang
mempengaruhi tingkat pengetahuan
yaitu pengalaman, tingkat pendidikan, keyakinan, fasilitas,
penghasilan dan sosial budaya (notoatmodjo, 2003). Tingkat pengetahuan perawat
dipengaruhi oleh latar belakang perawat (Zhi, 2009).
Presentase responden yang
memiliki tingkat pengetahuan
kurang adalah 21.5
% atau sebanyak
20 responden, hal
ini kemungkinan disebabkan karena
menurut Diklat Rumah
Sakit Dr. Moewardi,
pihak Rumah Sakit belum banyak mengadakan pelatihan
atau seminar yang
berhubungan dengan perawatan
paliatif di yang
seharusnya diadakan untuk
meningkatkan pengetahuan dan
ketrampilan perawat, sebagaimana diungkapkan Adriaansen (2005) menyimpulkan bahwa pelatihan perawatan paliatif memberikan kontribusi yang
signifikan pada pengetahuan dan
wawasan perawat disisi lain
Choi, Jung and
Kim (2011) juga
menemukan bahwa rangkaian
pendidikan dan pelatihan
tentang akhir kehidupan (End of
Life) efektif untuk
meningkatkan pengetahuan perawat
mengenai hospis dan
perawatan paliatif. Sebanyak 27 (29 %) responden mempunyai tingkat
pengetahuan baik, hal ini kemungkinan disebabkan karena
tingkat pengetahuan juga
dipengaruhi oleh pengalaman. Henry
(2010) menemukan bahwa
terdapat korelasi positif
antara tingkat pengetahuan perawat
dengan pengalaman. Perawat
yang sudah lama
bekerja mempunyai banyak
pengalaman bekerja di
berbagai macam ruangan
melalui program rotasi
kerja. Simamora (2012)
menyatakan bahwa rotasi kerja
mempunyai manfaat memperluas pengalaman dan
kemampuan, dengan pengalaman tersebut akan meningkatkan kemampuan baik pengetahuan (knowledge) maupun ketrampilan (skill).
Semakin lama perawat
bekerja semakin banyak
kasus yang ditanganinya sehingga
semakin meningkat pengalamannya, sebaliknya
semakin singkat orang
bekerja maka semakin
sedikit kasus yang ditanganinya. Pengalaman
bekerja juga banyak
memberikan keahlian dan
ketrampilan kerja (Sastrohadiwiryo, 2002).
Jurnal penelitian tersebut menunjukan belum banyaknya
penerapan konsep palliative care di Indonesia. Salah satunya adalah pandangan
perawat terhadap kematian pasien. Masih banyak rumah sakit yang belum memahami
bahwa pasien memerlukan perawatan paliatif terutama untuk pasien dengan stadium
terminal. Seperti yang diutarakan oleh Direktur
RSUD Dr. Syamsudin Sukabumi sekaligus Ketua Asosiasi Rumah Sakit Daerah Seluruh
Indonesia (Arsada) Provinsi Jawa Barat, dr. H. Suherman, MKM “Jadi persoalan
kematian masih menjadi soal yang rumit di Indonesia. Rumit dalam arti kata
bagaimana rumah sakit menempatkan diri pada orang yang mengalami stadium
terminal. Saat orang memasuki terminal state, malah dimasukan ke ICU atau ICCU.
Pada saat stadium terminal, kita harusnya menghadapkan mereka pada husnul
khotimah,”
Tantangan lain yang dihadapi adalah perlunya dilakukan
transformasi dari provider centered menjadi patient centered. Suherman mengatakan bahwa saat ini belum
banyak yang memahami konsep patient centered. “Akibatnya sering terjadi gejolak
khusunya bagian yang berkaitan dengan perawat. Seakan-akan perawat sebagai
bagian dari perpanjangan dokter. Padahal perawat adalah model mandiri dalam
pelaksanaan keperawatan. Dia bersama dengan dokter untuk memecahkan masalah secara
sinergi,” ujarnya.
“Di lain pihak elderly people sudah membutuhkan suatu
perhatian yang luar biasa dari para pengambil keputusan. Jumlah orang tua
semakin bertambah dan kita tidak punya kesiapan untuk memberikan yang terbaik
untuk mereka,” ujar Dr. Suherman.
Pembicara lain, Dr. Agus mengatakan bahwa tujuan perawatan
paliatif adalah untuk meningkatkan kualitas hidup yang seoptimal mungkin bagi
penderita dan keluarganya. Pengobatan yang dilakukan adalah dengan treat the
patient bukan treat the disease. Pola dasar pemikiran perawatan paliatif adalah
meningkatkan kualitas hidup dan menganggap bahwa kematian adalah proses yang
normal, serta tidak mempercepat atau menunda kematian. Selain itu, dalam
perawatan paliatif juga diperhatikan bagaimana menjaga keseimbangan psikologis
dan spiritual pasien, serta berusaha agara pasien tetap aktif hingga akhir
hayatnya.
Perawatan paliatif di Indonesia sendiri sudah dimulai sejak
dibukanya poliklinik Perawatan Paliatif & Bebas Nyeri RSUD Dr. Soetomo pada
19 Februari 1992. Pada kesempatan tersebut, Dr. Agus juga berbagi pengalamannya
terkait penerapan perawatan paliatif yang dilaksanakan di RSUD Dr. Soetomo.*
Menurut Organisasi Asuhan Paliatif Anak Internasional
(ICPCN), hampir 700 ribu anak Indonesia hidup dengan penyakit serius seperti
kanker, HIV AIDS, dan meningitis. Karenanya, mereka membutuhkan asuhan palitif.
Rachel House salah satu lembaga nirlaba yang menyediakan
asuhan paliatif anak khususnya di Indonesia. Lembaga ini adalah sebuah
spesialisasi medis yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien, dengan
mengurangi nyeri, gejala, dan penderitaan lain yang mereka rasakan, baik dari
segi fisik, emosional, sosial, maupun spiritual. Rachel House digerakkan oleh
sebuah tim perawat, yang melakukan kunjungan ke rumah pasien-pasien untuk
memastikan bahwa mereka dapat hidup nyaman di rumah, tanpa kesakitan.
Suster Ria adalah satu dari lima perawat asuhan paliatif di
Rachel House yang mendedikasikan waktunya untuk meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat Indonesia.
Lulus dari Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia
pada tahun 2015, Suster Ria pernah bergabung dengan Pencerah Nusantara dan
mengabdi selama satu tahun di sebuah puskesmas daerah terpencil di Kalimantan
Tengah sebagai bagian dari tim Pencerah Nusantara.
Lewat Rachel House, suster Ria belajar bagaimana ia bisa
menghilangkan rasa nyeri yang pasien derita, serta meringankan beban batin dan
stigma sosial yang pasien dan keluarga hadapi. Ria berharap asuhan paliatif di
Indonesia dapat berkembang seperti di negara-negara lain, di mana terdapat
tim-tim asuhan paliatif di fasilitas kesehatan seperti rumah sakit dan
puskesmas, yang terdiri dari berbagai profesi kesehatan seperti dokter,
perawat, pekerja sosial, psikolog, dan rohaniawan. “Dengan demikian, kita tidak
lagi berjalan sendiri, tapi bersama dengan tenaga kesehatan lainnya untuk
membantu meringankan penderitaan pasien,” ujar Ria. Semakin banyaknya orang
yang berkecimpung dalam asuhan paliatif, maka ia mengharapkan akan semakin
banyak anak yang bisa mendapat perawatan yang mereka butuhkan, di rumah atau
rumah sakit, dan tidak ada lagi yang hidup atau meninggal dalam kesakitan.
Yayasan Rumah Rachel (YRR) adalah lembaga nirlaba yang
menyelenggarakan asuhan paliatif rawat rumah tidak berbayar bagi anak-anak
dengan Kanker dan HIV, terutama dari latar keluarga kurang mampu. Visi kami
adalah tidak ada lagi anak dalam nyeri atau kesakitan. Misi kami adalah
memastikan asuhan paliatif tersedia bagi anak Indonesia sehingga mereka dapat
menjalani hidup bahagia dan bermartabat dalam lingkungan penuh kasih sayang.
Sebagai lembaga perintis asuhan paliatif anak di Indonesia,
Yayasan Rumah Rachel berkomitmen untuk terus membina kapasitas tim melalui
proses belajar berkelanjutan melibatkan para penggiat dan guru paliatif dari
Indonesia, Singapura, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan dan India.
Lokasi:
Kantor Slipi (Jakarta Barat) dan/atau Kantor Cilincing
(Jakarta Utara).
Tanggung Jawab:
Menyelenggarakan
asuhan keperawatan bermutu.
Menyelenggarakan
pendidikan kesehatan dan komunikasi terapetik bagi klien dan keluarga.
Menyelenggarakan
dukungan dasar psikologi sosial dan spiritual bagi klien dan keluarga selama
terapi, jelang dan pasca kematian.
Berkoordinasi
dengan lembaga mitra dan unit pelayanan kesehatan dalam menyelenggarakan asuhan
bagi klien dan keluarga.
Persyaratan:
Berlatar
pendidikan minimal D3 Keperawatan
Diutamakan
berpengalaman kerja keperawatan klinis minimal satu tahun. Jika kurang dari
satu tahun dapat dipertimbangkan jika ada nilai tambah lain seperti pengalaman
dalam layanan rawat rumah/anak/pengalaman di daerah terpencil.
Memiliki Surat
Tanda Registrasi dan Surat Izin Praktik yang berlaku.
Memiliki Kartu
NIRA yang masih berlaku akan menjadi nilai tambah
Memiliki Kepekaan
Sosial.
Terampil
berkomunikasi dengan beragam pihak.
Mampu
mengoperasikan internet dan perangkat lunak dasar perkantoran.
Kemampuan
berbahasa Inggris menjadi nilai tambah.
Mampu mengendarai
motor dan/atau mobil serta memiliki SIM menjadi nilai tambah.
Silakan mengirimkan curriculum vitae ke noviati@rachel-house.org/lama,
atau ke Yayasan Rumah Rachel, Graha Indramas Lt. 1, Jl. K. S. Tubun Raya Kav.
77, Slipi, Jakarta 11410.
kesimpulanya: keperawatan paliatif sudah diterapkan baik oleh perawat rumah sakit dengan pengetahuan yang baik maupun oleh yayasan yang perduli dengan perawatan paliatif tetapi masih perlu pengembangan dan pengenalan juga pembiasaan penerapan pada seluruh tenaga kesehatan baik perawat maupun dokter.
kesimpulanya: keperawatan paliatif sudah diterapkan baik oleh perawat rumah sakit dengan pengetahuan yang baik maupun oleh yayasan yang perduli dengan perawatan paliatif tetapi masih perlu pengembangan dan pengenalan juga pembiasaan penerapan pada seluruh tenaga kesehatan baik perawat maupun dokter.